

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain
Ketika sampah dianggap sebagai buangan yang menjijikan dan dijauhi banyak orang, tapi tidak bagi sebagian warga yang tinggal di sekitar TPA Ngronggo yang terletak di Kota Salatiga ini. Meski TPA ini sedang menjadi topik pembicaraan hangat baik oleh akademisi dan stakeholder karena disinyalir belum memiliki Instalasi Pengolah Air Limbah untuk Lichied/air lindi sampah sebelum dibuang ke lingkungan karena bisa menbahayakan karena bisa mencemari sumber-sumber air disekitar TPA, mereka justru tidak mempedulikan dan terkesan acuh tak acuh dengan masalah tersebut. Sebut saja mereka dengan nama pemulung sampah. Dari hari ke hari mereka selalu bergelut dengan sampah, sampah menjadi sumber kehidupan bagi mereka dan keluarga mereka, dan pemulung tidak bisa hidup tampa sampah bahkan bisa saja kehilangan kehidupan manakala tidak mengais sampah dan barang-barang bekas atau rongsokan dari tumpukan sampah.
Bukan itu saja...rumah-rumah kardus dan rumah plastik sering bermunculan disekitar TPA yang digunakan para pemulung sebagai tempat transit untuk mengepul barang-barang bekas dan roksokan yang akan dijual ke penadah barang bekas. Sungguh ironis sekali, disaat banyak orang hidup degan pola hidup yang tidak ramah lingkungan dan tidak efesien yang pada akhirnya meningkatkan jumlah produksi/timbulan sampah rumah tangga dan domistik, sebagian warga masih banyak yang mengharap uluran tangan untuk memperoleh seonggok sampah.
Para pemulung bertahan hidup dari tumpukan sampah tampa menghiraukan akan resiko akumulasi terkontaminasi racun-racun yang muncul dari tumpukan sampah. Mampukah mereka bertahan dan hidup terus dari tumpukan sampah...???
Pembangunan yang cukup pesat di kota Semarang akhir-akhir ini telah membawa konsekwensi logis dan dampak terhadap menurunnya daya dukung lingkungan. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kini mulai terancam. Padahal kita semua tahu bahwa ruang terbuka hijau menjadi space atau area penyangga sebuah lingkungan. Disamping sebagai daerah resapan air, ruang terbuka hijau juga sangat penting untuk menjaga iklim di suatu daerah.
Ruang Terbuka Hijau di kota Semarang dari hari ke hari semakin menyempit saja, artinya ruang terbuka hijau (RTH) terus berkurang dan berada di bawah ambang batas persyaratan bagi sebuah pembangunan kota berkelanjutan (30 % dari luas kota). Sungguh sangat ironis sekali jika melihat kondisi saat ini.
Jika diruntut faktor utama penyebab terjadinya alih fungsi RTH pada area persawahan, taman-taman kota dan lapangan terbuka sebagai contoh yang terjadi di wilayah Semarang Timur yang berdekatan dengan lokasi masjid Agung Jateng ke non-RTH, disebabkan oleh masih rendahnya tingkat kesadaran stakeholder, baik pemerintah, perencana, maupun masyarakat sendiri terhadap pentingnya RTH di kawasan perkotaan dan sekitarnya (hinterland). Sehingga areal RTH yang telah ditetapkan dalam rancangan kawasan perkotaan (urban design) menjadi beralih fungsi. Di samping itu tidak adanya kejelasan sistem informasi geografi tentang penataan RTH, telah meyebabkan banyak RTH yang beralih fungsi baik untuk kawasan komersial maupun kawasan hunian yang mengesampingkan ruang terbuka hijau.
Yang pada akhirnya ini sering menimbulkan konflik-konflik peruntukan ruang yang cukup dilematis antara kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Tetapi ujung-ujungnya yang menjadi korban dan penggusuran dengan berbagai alasan klise, lagi-lagi adalah relung-relung alami (niches) berupa ruang terbuka hijau (area persawahan, lapangan terbuka dan taman-taman kota) yang berubah menjadi tempat hunian baru. Jika melihat kondisi seperti ini masihkah kita bisa mempertahankan ruang terbuka hijau di Kota Semarang ???
Manusia tidak dapat hidup tampa air. Air adalah sumber kehidupan di muka bumi ini. Ketika krisis air melanda sebagian wilayah di Provinsi Jawa Tengah ini, semua daya dan upaya dikerahkan untuk mengatasi persoalan ini.
Memang benar tampa air kita tidak bisa hidup, hal ini terlihat dari aktifitas masyarakat yang tinggal di kampung Kalitaman Kota Salatiga. Mereka memanfaatkan air yang ditampung dalam tempat tertentu mirip kolam air untuk berbagai aktifitas. Jika ditanya apakah air tersebut memenuhi syarat kesehatan, sudah pasti jawabannya tidak layak. Mengapa ??? Kolam air yang berukuran kira-kira 12 m x 8 m ini sampai pada hari ini masih dipergunakan warga mulai dari mencuci pakai, mencuci piring, membersihkan beras (mususi beras), bahkan mandipun mereka juga di dalam kolam air tersebut. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan, budaya masyarakat dan tingkat pendidikan yang rendah juga membawa dampak terhadap rendahnya pengetahuan warga terhadap sanitasi yang sehat dan bersih.
Meski pemerintah kota sudah membuatkan MCK Plus yang didanai dari proyek SANIMAS (sanitasi Berbasis Masyarakat) senilai 300 juta, ternyata masih banyak warga yang enggan memanfaatkan fasilitas umum tersebut. Padahal jarak antara lokasi SANIMAS yang berujud MCK Plus hanya berjarak tidak lebih dari 200 m. Sungguh ironis sekali, kondisi ini bisa jadi merupakan potret sebagian besar masyarakat kita yang sebagian adalah rakyat kecil dan warga miskin.
Bagi teman-teman, adik-adik remaja yang kebetulan sempat membuka situs ini dan berbinat untuk mnegetahui kiat-kiat menjadi penulis artikle atau ingin tahu jurus-jurus jitu agar tulisan yang dibuat dimuat di surat kabar bisa menghubungi saya dengan kirim surat melalui e-mail :bagusirawanmail@yahoo.com atau hub ke Hp 081 56 6565 81.