Selasa, 25 Maret 2008

Semarang Macet dan Polusi

Kemacetan di berbagai ruas jalan protokol di kota Semarang sudah seharusnya diwaspadai. Tingkat kemacetan yang cukup tinggi membawa implikasi polusi udara yang semakin meningkat. Ujung-ujungnya masyarakatlah yang kena dampaknya, karena kesehatannya berkurang. Laju pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan angka pertumbuhan kendaraan bermotor menyebabkan kemacetan di jalan raya semakin menjadi-jadi. Beberapa ruas jalan seperti : Jl. Majapahit, Jl. Jatingaleh, Jl Kaligawe, dll selalu dipadati kendaraan bermotor. Emisi gas buang dari berbagai macam jenis kendaraan keluar dari knalpot tiap harinya, semakin menambah polusi udara kota. Bahakan kota Semarang termasuk 10 kota terpolusi di Indonesia. Tentu saja predikat ini bukanlah hal yang baik dan perlu mendapatkan penanganan yang optimal.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat ambil foto kemacetan lalu lintas di salah satu ruas jalan penghubung Semarang bawah dengan Semarang atas, tepatnya di jalan Jatingaleh. Foto ini saya ambil dari atas jembatan penyeberangan pasar jatingaleh. Pusing...pusing tiap hari harus menjumpai kemacetan lalu lintas baik saat berangkat kerja dan pulang kerja. Kondisi ini pundirasakan hampir oleh semua pengguna kendaraan bermotor di Semarang. Jika pemerintah kota tidak segera mencari solusinya, maka kondisi ini akan menjadi bom waktu. Jika ruas jalan di Semarang tidak bertambah, maka jumlah kendaraan di jalan raya perlu dibatasi jumlahnya, agar tidak menimbulkan kemacetan dan polusi udara kota.

Semarang Mengejar Adipura


Kegagalan kota Semarang dalam meraih Piala Adipura tahun lalu semestinya bisa menjadi bahan instropeksi diri sekaligus menjadi acuan untuk bisa meraih Adipura di tahun ini. Segala daya dan upaya serta seluruh potensi perlu dikembangkan untuk memacu aktifitas yang bisa mendukung diraihnya kembali Adipura. Berhasil tidaknya kita meraih Adipura memang tidak semata-mata tergantung dari pemerintah kota saja, peran serta masyarakat dan pihak swasta sangat mendukung tercapainya seluruh aktifitas yang mendukung penilaian Adipura.

Sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah Semarang yang kini memiliki jumlah penduduk hampir mencapai 1,5 juta jiwa, sebagaian besar memang belum tersentuh dan mengerti tentang maksud Adipura. Ketidaktahuan masyarakat dan sikap apriori atau skeptis masyarakat terhadap Adipuira bisa jadi disebabkan kurang mengertinya mereka terhadap filosofis program tersebut.

Adipura adalah suatu penghargaan yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini melalui Kementrian Negara Lingkungan Hidup kepada kota atau kabupaten yang berhasil dalam kebersihan dan pengelolaan lingkungan hidup. Secara filosofis program ini awalnya difokuskan untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi ”kota bersih dan teduh” Clean and Green City” sejalan dengan bergulirnya waktu program ini bertujuan tidak sekedar mendorong pemerintah kota/kabupaten agar mampu mewujudkan kota bersih dan teduh (clean and green city) tetapi juga dalam pelaksanaanya mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance (transparasi, partisipasi dan akuntablitas). Sehingga Adipura sebenarnya bukanlah tujuan, tetapi sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang bersih, sehat dan asri lingkungannya.

Hal inilah yang tidak diketahui masyarakat secara luas, sehingga dirasakan bahwa program ini semata-mata hanya program yang bersifat prestise belaka dan hanya milik pemerintah saja. Akibatnya masyarakat kurang tanggap dan merasa bukan manjadi bagian untuk turut serta mendukung tercapainya program tersebut. Masyarakat dewasa ini merasa bahwa Adipura bukanlah hal yang pokok, karena masih banyak masalah-masalah krusial di lapangan yang menghadang mereka, seperti sulitnya mencari pekerjaan, kemiskinan yang semakin meningkat dan naiknya berbagai harga komoditas kebutuhan rumah tangga. Padahal jika mereka mengerti benar akan tujuan dan sasaran Adipura yang esensial, sudah semestinya masyarakat akan turut serta aktif dalam mewujudkan masyarakat yang bersih, sehat dan asri lingkungannya, toh semua ini juga kembali untuk masyarakat sendiri.

Jika melihat kondisi masih seperti sekarang ini, mungkinkah Semarang mampu mengejar Adipura dan berhasil meraih penghargaan istimewa dari presiden tersebut ?

Penentu keberhasilan ADIPURA
Memang tidak bisa disamaratakan kota Semarang dengan kota-kota lain di Jawa Tengah, meski tahun lalu mereka meraih Adipura dan kita hanya gigit jari, kerana Adipura lolos dari tangan kita. Adipura dibagi beberapa katagori berdasarkan jumlah penduduk terdiri dari : Kota Metro (1 juta keatas), Kota Besar (500 – 1 Juta), Kota Sedang (100 – 500) dan Kota Kecil (kurang dari 100). Sehingga wajar saja jika kota lain di Jawa Tengah mendapat Adipura sedangkan Semarang tidak, karena kota Semarang masuk dalam katagori Kota Metropolitan.

Namun demikian. penulis memiliki keyakinan bahwa Semarang mampu mengejar Adipura, maksudnya seluruh potensi yang ada untuk bisa meraih penghargaan ini benar-benar harus dioptimalkan. Sebenarnya ada kata kunci yang harus diperhatikan agar Adipura tidak lolos lagi dari Kota Semarang. Kata kunci tersebut adalah kebersihan. Kebersihan sangat erat kaitanya dengan masalah sampah kota Semarang. Bagaimana upaya pemerintah kota untuk mengelola sampah sedemikian rupa menjadi tantangan berat ke depan. Jumlah sampah kota yang semakin meningkat akan terkait dengan penyediaan tempat pembungan akhir sampah (TPA). TPA Jatibarang tentu saja tidak akan mampu menampung sampah masyarakat yang dari hari ke hari semakin banyak. Sampah yang dibuang ke TPA harus segera diupayakan untuk diolah sedemikian rupa agar volume sampah menjadi berkurang, sehingga timbulan sampah menjadi kecil.

Menurut Sekda Kota Semarang. Drs. Soemarmo, M.Si pemerintah kota Semarang telah menggandeng pihak swatsa dalam hal ini investor yang akan membuat teknologi pengolahan sampah terpadu. Hal ini terungkap saat penulis berbincang-bincang dalam acara Talk Show di Radio Smart FM 25/3/08, membahas Adipura didampingi Dinas Kebersihan Kota, Drs. Akhmat Zaenuri, MM. Dengan adanya teknologi tersebut pemerintah kota nyakin sampah kota Semarang dapat diminimalisir di aera TPA. Sehingga umur TPA Jatibarang menjadi lebih lama dan bisa dioptimalkan, mengingat kendala signifikan untuk mencari area baru TPA.

Dari sudut pandang penulis, sampah sebenarnya bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat sebagai produsen sampah juga harus bertanggung jawab untuk turut serta dalam upaya meminimalisasi sampah dari sumbernya. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat menjadi jawabannya. Masyarakat dituntut lebih aktif dan progresif dalam hal pengurangan sampah dari sumbernya. Alangkah lebih baik jika masyarakat juga mampu menerapkan prinsip 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) di rumah masing-masing. Dengan prinsip tersebut, sampah sedemikian rupa dapat diolah di rumah tangga menjadi kompos yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk tananan.

Pemerintah kota dalam hal ini Dinas Pemukiman dan Tata Ruang Provinsi (Kimtaru) Jawa Tengah juga sudah mulai memperkenalkan si ”Keranjang Ajaib” atau Takakura. Keranjang ini mampu mengubah sampah sedemikian rupa menjadi kompos dan teknologi ini bisa dimanfaatkan bukan saja untuk rumah tangga, tetapi juga untuk kantor-kantor, dll. Pemilahan sampah dari sumbernya juga harus segera disosialisasikan ke masyarakat agar memudahkan proses pengolahan sampah. Saat ini Dinas Kimtaru Propinsi dan Dinas Kebersihan juga sudah memperkenalkan kotak sampah yang berbeda warnanya, Hijau, Biru dan Merah disesuaikan dengan jenis sampahnya.

Namun tetap saja keberhasilan pemerintah dalam upaya untuk mengejar Adipura tidak lepas dari kesadaran warga kota Semarang untuk membantu pemerintah dalam hal kebersihan Kota. Mana mungkin Adipura dapat tercapai bila warga kota masih sering dijumpai membuang sampah disembarang tempat tampa perasaan ewuh pakewuh, tampa rasa malu dan tidak merasa berdosa sama sekali. Oleh sebab itu peran serta masyarakat untuk turut serta mengejar Adipura menjadi cukup dominan. Semua program pemerintah yang diselenggarakan dalam upaya untuk mendapatkan penghargaan tersebut akan sia-sia dan terbengkelai karena tidak mendapat respon dan dukungan dari masyarakat.

Jika semua potensi dioptimalkan, penulis nyakin Semarang akan meraih Adipura kembali di tahun ini. Dari hasil pemantauan kedua oleh Tim Pusat ada beberapa rekomendasi yang dikeluarkan oleh Tim Adipura KLH Jakarta untuk memperbaiki lokasi-lokasi potensial tersebut. Bila pemerintah dan masyarakat bersatu padu dan bekerjasama, semua lokasi-lokasi yang perlu diperbaiki pasti bisa diselesaikan dengan baik dan lancar, sehinga Adipura akan berhasil diraih kembali. Sebagai penutup penulis tekankan kembali bahwa Mengejar Adipura bukanlah tujuan, tetapi sebagai/menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan masyarakat kota Semarang yang bersih, sehat dan asri lingkungnnya.Semoga saja.

Senin, 24 Maret 2008

Masjid Agung Jateng

agung

Meski harus antri untuk bisa memasuki menara masjid agung jateng, akhirnya saya bisa naik ke atas menara dengan menggunakan lift. Dari atas menara saya sempatkan untuk mengambil foto masjid agung jateng yang menjadi masjid terbesar di Indonesia. Sangat indah sekali pemandangan dari atas menara masjid agung jateng. Masjid tampak megah dan cukup artistik.

agung2

Foto diambil dari atas menara masjid agung jateng.Tampak dibelakang rumah-rumah penduduk yang terlihat cukup padat. Space/ruang hijau terbuka sebagai daerah resapan air untuk mengantisipasi luapan air hujan sudah mulai terkikis dan tergantikan oleh hunian-hunian baru. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya banjir di Kota Semarang bawah

Liburan ke Bali
















Naik perahu boat ternyata cukup menyenangkan, tapi ngeri juga rasanya lho...berada ditengah lautan yang cukup luas. Setelah naik perahu boat kami meneruskan perjalanan ke obyek wisata lainnya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya saya sampe juga ke suatu tempat yang cukup dikeramatkan di Pulau Bali. Menurut banyak orang yang percaya, air yang muncul dari sebuah gua di sana dapat menyembuhkan berbagi macam penyakit. Tempat itu disebut Pura Besakih. Sungguh menyenangkan sekali berada disana, deburan ombak dan angin yang berhembus membuat saya merasa sangat nyaman sekali. Tampak di foto saya dengan mahasiswa Teknik Mesin UNIMUS








Uji Emisi Gas Buang



Untuk membantu pemerintah kota Semarang dalam rangka mengurangi polusi udara, saya membuat alat untuk mereduksi polusi udara berupa Catalytic Converter yang dipasang disaluran gas buang kendaraan bermotor. Kegiatan ini mendapat support dari Dikti senilai 10 juta untuk membuat alat tersebut sekaligus untuk pengujiannya.
Tempat pengujian emisi gas buang di Laboratorium Engine Honley Motor Jl. Iman Bonjol Semarang. Tampak pada foto, saya sedang mengambil data disaksikan oleh staf teknik Honley Motor

Lagi-lagi CO2 dan H2S Removal

Rasanya baru satu minggu yang lalu saya ketemu teman-temn Pertamina UP II Balongan, ternyata Allah memberii kesempatan lagi untuk memberi pelatihan CO2 dan H2S Removal. Masih di tempat yang sama di Hotel Papandayan Bandung, peserta juga berjumlah 5 orang yang seharusnya 6 orang. Satu orang peserta gagal ikut pelatihan karena ada keluarganya yang sakit, sehingga harus segera balik ke Dumai, padahal sudah sampai di Jakarta.

Peserta Pelatihan CO2 dan H2S Removal dari Pertamina UP II Dumai

Beberapa waktu yang lalu saya memberikan pelatihan "CO2 and H2S Removal" di hotel Papandayan Bandung. Peserta pelatihan dari Pertamina UP II Dumai berjumlah 5 orang. Kegiatan pelatihan selama 4 hari saya kemas dengan sersan (serius tapi santai), membuat peserta menjadi releks dan tidak monoton. Meski sudah cukup berpengalaman, tampaknya peserta cukup antusias mengikuti pelatihan. Sungguh menyenangkan sekali saya bisa bertukar pikiran dengan teman-teman dari UP II Dumai. Sampai ketemu di paltihan berikutnya...

Senin, 17 Maret 2008

Rusun Di Tengah Kota, Mungkinkah...??

Rumah menjadi sebuah kebutuhan esensial/primer dan sangat penting bagi semua warga yang tinggal di Kota Semarang. Bahkan bagi rakyat kecil memiliki rumah idaman merupakan impian yang amat didambakannya. Namun dengan semakin terbatasnya ruang dan tingginya harga tanah/rumah di kota Semarang, menyebabkan keinginan sebagian besar warga yang notabene adalah rakyat kecil kandas di tengah jalan. Mereka harus berjuang sangat keras untuk memperoleh dan bisa menempati rumah yang layak huni agar dapat membangun keluarga yang lebih berkualitas.

Sebagai ibu kota provinsi dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 1,5 juta jiwa, sebagian besar warga belum dapat menikmati dan masih kesulitan untuk memiliki rumah tinggal yang layak. Dari data Dinas Permukiman dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah lebih dari 1 juta kepala keluarga belum memiliki rumah/tempat tinggal, yang sebagian besar tinggal di kota Semarang.

Sungguh ironis sekali, dibalik gencarnya pembangunan pusat perbelanjaan modern (mal-mal), ruko-ruko, hotel-hotel, rumah-rumah dan aparterment mewah, yang seolah-olah mempertontonkan keangkuhan dan kemegahan kota semarang sebagai kota metropolitan, rakyat kecil kota ini masih menanti uluran tangan dari para pengembang (investor) perumahan untuk sekedar mendapatkan tempat berteduh dan berlindung yang layak sesuai dengan harapan mereka, yang sampai saat ini masih saja menjadi sebuah mimpi indah di siang balong.

Keinginan para pengembang untuk menyediakan rumah rakyat juga belum dapat terealisir. Mengingat masih terjadi tarik ulur antara pengembang dengan pemerintah. Mengacu pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.03/M/2007 tentang kepemilikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jelas dengan gaji dibawah Rp 1 juta masih banyak rakyat kecil yang tetap saja kesulitan untuk membeli rumah bersubsidi tersebut.

Sehingga mau tidak mau mereka terpaksa harus rela tinggal di tempat-tempat “ kumuh “ yang sebenarnya tidak layak huni baik secara teknis maupun aspek kesehatan. Di Jawa Tengah saja terdapat lebih dari 500 lokasi pemukiman kumuh warga dengan luas area lebih dari 390 hektar yang di huni hampir 19.000 keluarga, dan sebagian besar ada di Semarang. Kondisi di atas tentu saja akan berpotensi menimbulkan kerawanan social, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan termasuk meningkatnya konflik pemanfaatan ruang dan tanah yang sering terjadi akhir-akhir ini.

Jika rakyat kecil memang sangat sulit untuk mendapatkan rumah karena semakin terbatasnya lahan dan ruang di kota ini serta harga tanah yang semakin tidak terjangkau sehingga menyebabkan para pengembang tidak mampu menyediakan dan membangun rumah murah, apa lantas rakyat harus diterlantarkan begitu saja. Tidakkah ada solusi yang bijaksana untuk memberikan jaminan hidup dengan memberikan tempat hunian secara lebih memadai dan layak bagi rakyat kecil kota ini ?

Rusun Alternatif Hunian
Kehadiran “ Rusun “ di Semarang sepertinya belum banyak dilirik dan mendapat simpati para investor atau pengembang untuk membangunnya. Padahal sebenarnya rumah susun atau rusun dapat dijadikan sebagai alternatif tempat hunian bagi rakyat kecil, di saat harga tanah semakin melambung dan semakin terbatasnya lahan dan ruang untuk membangun rumah di tengah kota. Rusun di tengah kota tentu dapat dijadikan sebuah alternatif hunian dan prioritas program dalam mengatasi persoalan permukiman dan perumahan penduduk, jika memang benar pemerintah kota ingin mengentaskan warganya yang sampai saat ini masih banyak yang belum memiliki rumah sendiri.

Beberapa rusun yang yang telah ada dan di huni warga kini telah menjadi sebuah komunitas tersendiri yang memiliki ciri khas yang unik dalam tata kemasyarakatan. Namum dengan masih terbatasnya rusun di kota ini, ternyata belum mampu menjawab kesulitan yang menimpa sebagian besar warga yang tergolong rakyat kecil. Beberapa Twin Blok rumah susun tipe 21 telah selesai di bangun pemerintah, namum rusun tersebut masih sangat terbatas dan belum mampu mengatasi seluruh masalah permukiman bagi rakyat kecil. Oleh sebab itu pemerintah kota perlu meningkatkan program pembangunan rumah susun di kota ini agar dapat menolong rakyat kecil yang hidup pas-pasan, syukur-syukur pemerintah bisa menggandeng pihak swasta dalam hal ini investor untuk berperan aktif menyelesaikan masalah permukiman penduduk kota.

Pembangunan rusun memang idealnya tidak jauh dari kota apalagi di pinggir kota yang sulit terjangkau prasarana dan sarana transportasi umum. Hal ini agar rakyat tetap dapat tinggal dekat dengan tempat mereka bekerja yang umumnya berada di pusat kota. Jika mereka dapat bekerja hanya dengan berjalan kaki saja, tentu akan sangat menekan pengeluaran yang digunakan untuk biaya transportasi. Uang mereka dapat digunakan untuk di tabung atau keperluan lain yang lebih utama. Namum bila yang terjadi sebaliknya (berada di pinggir kota) rusun menjadi tidak efektif dan efesien sebagai tempat hunian rakyat kecil.

Pembangunan rusun ini harus ditujukan untuk memberikan tempat hunian yang cukup layak kepada rakyat kecil yang berpenghasilan rendah. Mereka diberikan kesempatan untuk membeli rusun dengan membayar uang muka yang rendah dan cicilan yang relatif ringan dengan jangka waktu yang panjang agar tidak mencekik leher rakyat. Jangan sampai rusun jatuh ke tangan warga yang mempunyai tingkat ekonomi lebih baik dan berpenghasilan tinggi apalagi orang – orang berdasi (baca : orang kaya).

Yang pada umumnya membeli rusun di pusat kota hanya untuk simpanan/sekedar “saving” atau ditempati agar tidak jauh dari lokasi tempat bekerja saja dan menghindari kemacetan di jalanan. Jangan sampai halaman rusun nantinya berubah menjadi areal tempat parkir mobil apalagi kendaraan mewah, seperti yang banyak terjadi di kota Jakarta saat ini.

Oleh sebab itu pemerintah perlu melihat kembali rumusan dari tujuan dan makna pembangunan rusun, agar rakyat kecilah yang nantinya benar-benar mendapatkan tempat hunian tersebut. Ke depan pembangunan rusun sebagai alternatif hunian yang layak untuk rakyat berpenghasilan rendah perlu ditingkatkan kembali pembangunannya baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Menjadi lebih bijaksana jika pemerintah kota menggandeng dan mengajak investor swasta membangun rusun lebih banyak lagi di kota ini untuk mewujudkan pemukiman yang ideal dan menghilangkan kawasan kumuh di Semarang.

Meski keuntungan financial yang dapat di ambil tidaklah sebanyak jika membangun aparterment atau rumah mewah, penulis yakin masih banyak investor dan pengembang di kota ini yang “ berhati mulia” dan mau mengerti jeritan dan kondisi rakyat kecil, sehingga mau membangunkan rusun dan menjadi penyelamat, di saat sulitnya mereka melawan kerasnya kehidupan kota Semarang. Semoga…

Budaya Menulis Di PTS



Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagai mitra pemerintah dalam upaya ikut serta mencerdaskan bangsa, dituntut untuk terus mampu meningkatkan kualitasnya. Sebagai sebuah lembaga formal yang bertugas untuk mengelola Sumber Daya Manusia (SDM), sudah seharusnya dapat menghasilkan output / luaran dalam hal ini sarjana yang berkualitas. Dalam proses transfer knowlagde (ilmu pengetahuan dan teknologi), interaksi antara dosen dan mahasiswa bisa menjadi cerminan kualitas sebuah perguruan tinggi yang tertuang dalam budaya akademik mereka. Budaya akademik (culture academic) salah satunya adalah dapat menghasilkan karya-karya ilmiah lewat sebuah tulisan. Namun kenyataan justru sebaliknya, kehidupan akademik di kampus masih sangat gersang dari karya-karya dosen lewat tulisan terpublikasi, baik dari hasil riset maupun opini-opini yang mereka tulis.

Di Indonesia terdapat lebih dari 1000 Perguruan Tinggi, 90 %-nya adalah perguruan tinggi swasta (PTS). PT ini telah menghasilkan alumni jutaan lulusan dari berbagai jenjang pendidikan. Memang dari segi kuantitas menunjukkan peningkatan yang signifikan, tetapi dari segi kualitas belum menunjukkan peningkatan yang berarti, karena masih rendahnya budaya menulis di lingkungan PTS.. Di Jawa Tengah saja terdapat lebih dari 215 PTS, mulai dari Akademi, Sekolah Tinggi hingga PT sendiri. tetapi hasil tulisan atau karya dari para dosen yang dipublikasikan ke media baik lewat majalah ilmiah, jurnal maupun surat kabar masih bisa dihitung dengan jari tidak sebanding dengan jumlah PT yang ada.

Paling banter tulisan dari hasil penelitian mereka, hanya masuk di perpustakaan dalam bentuk buku laporan semata, dan jumlahnya-pun tidak banyak. Tak jarang dari tulisan laporan tersebut pada akhirnya menjadi tumpukan kertas tua yang disimpan di perpustakaan, karena tidak pernah disentuh apalagi dibaca oleh orang lain. Kondisi ini sebenarnya banyak dirasakan oleh banyak PTS di Jawa Tengah, karena masih sangat sulit untuk memacu para dosen agar giat menulis.

Padahal menulis merupakan hal yang penting dan sangat erat sekali dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mirabeau dan Renan sangat menyakini bahwa penemuan tulisan telah membentuk sekaligus merubah peradaban. Sebagaimana pemeo “ as laguage distinguishes man for animal. so writing distinguishes civilized man from barbarian “ (bahasa membedakan manusia dari binatang, begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab). Artinya tulisan hanya terdapat dalam peradaban dan peradaban tidaklah ada tampa tulisan.

Dengan demikian kegiatan menulis merupakan budaya kaum intelektual dan orang terdidik yang sudah seharusnya disandang para dosen. Menulis merupakan bagian dari budaya akademik (culture academic) yang perlu dikembangkan dalam kehidupan di dalam kampus. Tetapi sungguh ironis sekali bahwa minat dan masih rendahnya motivasi untuk menulis dikalangan dosen di lingkungan PTS, menjadi penyebab semakin rendahnya kualitas PTS dibandingkan dengan PTN. Meski demikian, ada juga PTS yang memiliki reputasi cukup baik di dunia tulis-menulis, namun tetap saja jumlahnya masih terbatas.

Penyebab
Mengapa Dosen PTS cenderung lebih sulit dan enggan menulis untuk mempublikasikan hasil penelitian/tulisan ilmiah dan opini-opininya ?.
Ada beberapa factor sekaligus indicator yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur ketidak-mampuan para dosen PTS dalam mengembangkan tulisannya, antara lain :
Pertama : masih banyak dosen PTS karena tuntutan urusan perut, lebih suka mengejar materi dengan sibuk mengajar saja, dengan jumlah jam kuliah yang kadang diluar batas kewajaran seorang dosen (lebih dari 9 SKS/minggu). Mengingat masih minimnya pendapatan / gaji dosen swasta tiap bulannya, banyak pula yang menjadi dosen terbang (mengajar di banyak tempat) untuk mengumpulkan dan memenuhi pundi-pundinya. Jelas dengan kondisi seperti di atas akan menguras tenaga dan energi, sehingga waktu untuk menulis menjadi tidak ada.

Kedua : Banyak dosen yang jarang dan tidak memanfaatkan perpustakaan secara optimal. Mereka yang lebih suka menghabiskan waktunya diluar jam kuliah untuk ngobrol sesama teman kerja atau bermain game di saat jam kantor. Padahal perpustakaan sebenarnya bisa menjadi sumber ilmu sekaligus gudangnya buku-buku dan dapat dijadikan sebagai inspirator untuk menghasilkan sebuah tulisan. Lebih parah lagi banyak pula dosen yang tidak pernah mau membaca referensi lain, selain buku yang diajarkan pada mahasiswanya. Padahal bisa jadi buku tersebut sudah tidak relevan lagi dan tidak sesuai dengan kondisi terkini alias tidak up to date serta tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dewasa ini.

Ketiga : Rendahnya produsktifitas dosen dalam berkarya lewat tulisan disebabkan karena lebih suka ngobyek di luar kampus yang justru terkadang jauh dari budaya akademik dan profesinya sebagai seorang pendidik. Misalnya ikut MLM (multi level marketing) produk tertentu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan bidang keahlian dosen bersangkutan atau menjadi pedagan di kampus dengan berjualan barang-barang tertentu. Mending jika seorang dosen menjadi tenaga ahli di sebuah konsultan perencanaan yang cukup banyak macamnya, ilmu teoritisnya justru semakin terasah, karena semakin banyak pengalaman dilapangan.

Keempat : Tidak tersedianya media yang dapat menampung hasil karya tulisan di kampus semakin menghambat semangat untuk menuangkan ide-ide dan gagasan menjadi sebuah tulisan, karena belum ada lembaga khusus seperti Redaksi Majalah Kampus, yang mengurusi atau menampung tulisan para dosen untuk dibuat menjadi sebuah artikle ilmiah yang bisa di baca banyak orang.

Merangsang Menulis
Jika melihat kondisi di atas, maka sangat diperlukan kiat-kiat atau teknik untuk merangsang para dosen agar mau aktif menulis di kampus. Adapun startegi yang dapat dilakukan untuk memotivasi para dosen tersebut diantaranya :
Pertama : Institusi Perguruan Tinggi Swasta harus melembagakan secara formal, badan atau lembaga yang nantinya mengurusi seluk-beluk hasil tulisan para dosen. Pimpinan PT juga harus memotivasi lembaga yang sudah terbentuk tersebut dan memberikan stimulan dana yang cukup untuk mengembangkan penerbitan majalah atau jurnal di kampus yang terakriditasi, bukan sebaliknya setengah-setengah saja, maksudnya memberi dorongan tampa memberi stimulan dana operasional yang memadai.

Kedua : Perlu adanya Reward/penghargaan khusus bagi para dosen yang sering menulis baik di media yang ada di kampus atau diluar kampusnya. Penghargaan ini meski tidak berwujud nominal uang, akan bisa memacu semangat para dosen untuk terus berkarya dan berkarya. Karena Pimpinan Perguruan Tinggi lebih responsif dalam memberikan perhatian kepada dosen yang sering menulis. Coba dibanyangkan, jika dosen yang aktif menulis disamakan rewardnya dengan dosen yang tidak mau menulis sama sekali, bisa jadi semangat untuk menulis menjadi semakin pudar dan padam serta para dosen kehilangan gairah untuk menulis.

Ketiga : Institusi perlu memberikan batasan jam mengajar kuliah bagi para dosen agar waktunya tidak habis untuk mengajar saja. Dengan semakin banyak waktu luang diluar jam kuliah maka seorang dosen akan bisa mengembangkan kemampuan menulisnya, minimal menuangkan ide dan gagasan untuk dikembangkan menjadi sebuah tulisan ilmiah yang dapat di publikasikan di majalah ilmiah, jurnal ataupun surat kabar. Hal ini harus diimbangi dengan pemberian penghasilan yang pantas bagi para dosen agar tidak mencari tambahan mengajar di luar kampus.

Ketiga strategi ini semestinya bisa merubah paradigma dan cara pikir para dosen yang malas menulis dan hanya sibuk untuk mengajar di kelas-kelas saja. Jika dengan ketiga cara ini tidak berhasil juga, maka dosen tersebut perlu dipertimbangkan kembali keberadaannya dan tidak perlu dipertahankan, karena sama sekali tidak membawa manfaat bagi kemajuan perguruan tinggi setempat. Nah, jika masih ada dosen yang enggan menulis, kapan Perguruan Tinggi tersebut akan bertambah maju. Semoga saja...

Potensi Museum Dieng

Masyarakat umumnya lebih mengenal “Dieng” sebagai daerah tujuan wisata alam ketimbang yang lainya, hal ini disebabkan oleh keindahan alam dieng yang sangat mempesona. Sesuai dengan namanya “Dieng” berasal dari bahasa sansekerta yaitu “Di” yang berarti tempat yang tinggi atau gunung yang berarti kayangan. Dengan menggabungkan kedua kata tersebut maka bisa diartikan merupakan daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayan. Maka tidak heran jika keindahan dataran tinggi Dieng tersebut sudah lama terkenal sampai ke mancanegara.

Sebagai daerah tujuan wisata, sebenarnya dieng masih memiliki potensi lain yang belum banyak dilirik bayak orang, bahkan banyak yang belum mengetahui akan keberadaanya. Sebut saja ”Museum Purbakala Dieng” yang terletak di desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Desa Dieng Kulon yang berada di ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut ini, meski banyak menyimpan saksi bisu peninggalan sejarah dan purbakala yang tersimpan dalam museum, ternyata belum banyak menarik perhatian masyarakat baik para wisatawan lokal maupun mancanegara untuk tujuan wisata maupun riset-riset sejarah dan kepurbakalaan. Boro-boro tertarik mengunjungi museum ini, mendengar jika Dieng punya museum yang menyimpan aset budaya yang tak ternilai harganya ini saja, mungkin belum pernah sampai ke telinga kita.

Museum purbakala ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1978, namum karena keterbatasan akses informasi dan publikasi seolah-olah museum ini tenggelam oleh kebesaran da keindahan panorama alam Dieng yang sungguh fantastis bagi banyak orang yang melihatnya. Jika kita tengok museum ini, terlihat kurang terawat dan kurang tertata rapi, ternyata memiliki dan menyimpan bukti-bukti sejarah perjalanan hidup nenek moyang kita dulu. Salah satu bukti nyata adalah peninggalan kuno kisah kehidupan masa lalu dengan banyaknya temuan arca dan puing-puing peningggalan kerajaan Kalingga dan Mataran Hindu, yang lebih banyak ditemukan oleh warga Desa Dieng Kulon daripada oleh kegiatan expidisi Arkeolog para ahli di bidang sejarah dan kepurbakalaan.

Lebih dari 380 koleksi dimiliki museum dan tertata di ruang pamer yang kurang representatif, diataranya arca Ganesha, Syiwa, Wisnu, Patung Nandi, berbagai bentuk Lingga dan Yoni serta hiasan Kalamakara. Namum kondisinya saat ini rata-rata masih sangat memprihatinkan, mungkin disebabkan karena penemuan oleh warga setempat yang dilakukan dengan cara tradisional dengan mencangkul dan menggali, sehingga banyak temuan berupa patung yang kehilangan kepala atau bagian-bagin tertentu.

Menurut penulis, banyak benda-benda purbakala yang tersimpan di museum tersebut terlihat kurang terawat dan kurang layak untuk dipamerkan. Mengingat benda-benda purbakala tersebut sudah memiliki umur yang cukup tua sudah seharusnya mendapat perwatan dan repair yang memadai baik dari aspek teknik maupun estetika. Pengaruh cuaca, seperti sinar matahari, hujan, kelembaban udara dan perbedaan temperatur dulu dengan sekarang bisa menjadi faktor utama cepat lapuknya benda-benda yang tersimpan di museum ini. Sebenarnya untuk memperpanjang umur dan merawat benda-benda historis itu bisa saja dengan penggunaan bahan-bahan kimia tertentu yang digunakan untuk mengawetkan dan membersihkan baik dari debu dan kotoran yang menempel.

Penataan ruangan pameran juga masih terlihat kurang baik sesuai dengan kaidah tata ruang pamer yang representatif untuk sebuah ruang pamer museum, terlihat masih tampak seperti strorage (gudang penyimpanan) saja. Padahal jelas dengan kondisi demikian, mana ada orang yang akan mau datang dan melihat benda-benda museum jika kondisi museum masih terlihat kotor dan terkesan agak kumuh. Paling-paling mereka yang mau datang adalah orang-orang yang memang butuh informasi sejarah dan kepurbakalaan seperti ahli sejarah dan para arkeolog untuk tujuan riset. Jelas jika memang demikian maka tujuan museum tidak dapat tercapai. Museum yang baik adalah museum yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, baik untuk tujuan wisata, pendidikan, riset-riset dan pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh publik domestik maupun mancanegara.

Jika diruntut masalah diatas maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kondisi museum seperti itu disebabkan oleh beberapa diantaranya : Masih kurang perhatiannya pemerintah daerah terhadap perkembangan museum, dana operasionalisasi dan perawatan yang masih minim, kurangnya tenaga ahli dibidang arkeolog yang bertugas untuk merawat dan memilihara benda-benda museum, dan kurangnya publikasi akan keberadaan museum.

Meningkatkan Potensi Museum
Menurut pandangan penulis untuk meningkatkan potensi museum purbakala Dieng agar bisa menjadi daerah tujuan wisata unggulan disamping tempat wisata yang sudah ada saat ini, tidak lepas dari strategi dan cara pemasaran yang baik serta komitment pemerintah daerah setempat untuk mengoptimalkan museum yang sudah ada ini. Pemerintah daerah harus lebih memberikan perhatian khusus baik dalam hal pengelolaan atau management museum dan prasarana sarananya. Tidak jelasnya pengelolaan museum bisa berakibat tidak adanya tanggung jawab operasional yang maksimal, ini bisa menimbulkan kerawanan, mengingat museum menyimpan benda-benda yang tak ternilai harganya, sudah barang tentu akan memancing oknum tertentu atau para kolektor jahat untuk berburu dan berusaha memindahkan benda-benda purbakala tersebut keluar museum.

Mengingat museum ini masih berada dibawah kendali Dinas Pariwisata, untuk setingkat Kabupaten sebaiknya perlu dibentuk UPTD (unit pelaksana teknis daerah) yang bertugas khusus mengelola museum. Sumber daya manusia dalam hal ini pengelola harus juga diperhatikan. Minimal mereka yang akan menjadi pengelola adalah mereka yang memiliki basic/background bidang sejarah dan kepurbakalaan yang secara terori maupun tekniks operasional mengusai betul seluk-beluk museum dan benda-benda di dalamnya. Jangan sampai museum dipegang oleh orang yang bukan ahlinya, boro-boro untuk mendisain ruang pamer yang representatif, untuk mencari terobosan promosi museum saja, sudah pasti kesulitan dan kelabakan.

Mengingat museum lokasinya sedemikian rupa, maka pemerintah harus menyediakan akses prasarana dan sarana yang memadai untuk menuju dan pergi dari museum. Jalan menuju lokasi museum juga harus diperbaiki, minimal kelasnya ditinggikan. Begitu pula dengan sarana transportasinya, jangan sampai wisatawan yang berkunjung mengeluh dan merasa tidak nyaman berkunjung ke museum hanya gara-gara jalan yang dilewati tidak baik atau rusak. Penulis nyakin keluhan tersebut bisa menjadi bumerang bagi museum.

Disamping itu pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana untuk Operasional dan perawatan (OP) yang memadai terutama yang lewat APBD II (Kabupaten). Jika pemerinah daerah bisa meningkatkan visi dan misi museum sampai ke tingkat internasional, sudah tentu anggaran OP bisa ditambah lewat pengajuan dana APBN dan APBD I (provinsi). Alangkah lebih baik jika anggaran OP disusun berdasarkan atau melalui rencana pembangunan investasi jangka menengah 5 tahun (RPIJM) sehingga selama kurang lebih 5 tahun ke depan museum masih bisa bernapas lega. Untuk ini perlu kreativitas dai pengelola dan pemerintah daerah dalam menyusun anggaran RPIJM.
Eksistensi museum tidak bisa lepas juga dari promosi dan publikasi yang cukup gencar dari pemerintah daerah. Sudah seharusnya pemerintah daerah memasukkan museum purbakala Dieng ini dalam daftar kunjungan tempat-tempat wisata yang sudah ada. Sehingga museum yang letaknya berhadapan dengan Candi Gatotkaca serta berseberangan dengan kompleks Candi Arjuna ini bisa terkenal sekaligus terpublikasi. Dengan sendirinya para wisatawan baik domesti maupun mancanegara akan berbondong-bondong mengunjungi museum dan berdecak kagum, melihat hasil karya nenek moyangnya yang luar biasa ini. Jika sudah begini pemerintah daerah-lah yang akan diuntungkan dengan masuknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bisa digunakan untuk membangun infrastuktur daerah lainnya. Semoga saja...

Waspada Sampah B3 Rumah Tangga



Banyak warga kota Semarang yang tidak tahu bahwa aktifitas rumah tangga mereka juga bisa menghasilkan sampah yang tegolong cukup berbahaya dan rawan terhadap kesehatan tubuh dan lingkungan tempat mereka tinggal. Namun karena tidak mengerti, banyak warga kota yang membuang sampah tersebut bercampur dengan sampah lainnya.

Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan mengandung bahan dan atau bekas kemasan suatu jenis bahan berbahaya dan/atau beracun disebut sampah bahan berbahaya beracun rumah tangga (B3 RT). Meskipun sampah ini dalam kuantitas atau konsentrasi yang sangat kecil akan tetapi tetap saja mengandung bahan berbahaya beracun /B3 sesuai dengan keputusan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 18 Tahun 1999 jo PP No. 85 Tahun 1999.

Jumlah sampah B3 RT yang dihasilkan warga Kota Semarang dalam timbulan sampah kota memang tidak lebih dari 5 % (sumber Dinas Kimtaru Provinsi Jateng 2006). Walaupun jumlahnya sangat kecil, dengan pola pembuangan akhir sampah kota Semarang yang masih Open Dumping seperti saat ini, dimana metode pembuangan akhir sampah di suatu lahan tempat pembuangan akhir hanya ditimbun saja begitu saja tampa ada pemilahan dan pengolahan lebih lanjut, sehingga jelas memungkinkan terjadinya akumulasi Bahan Berbahaya Beracun (B3).

Akumulasi tersebut pada suatu saat akan mencapai tingkat konsentrasi tertentu, yang bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan. Dampak negatif yang mungkin terjadi yaitu pencemaran tanah dan air tanah yang berada di sekitar lahan pembuangan akhir. Jika pencemaran tersebut sampai di permukiman terdekat maka akan menimbulkan masalah yang cukup serius. Bahaya yang ditimbulkannya adalah masuknya bahan-bahan yang berkatagori B3 tersebut ke dalam aliran air bawah tanah atau kontak langsung dengan manusia dan mahluk hidup lainnya. Tingkat bahaya terbesar sudah barang tentu diterima oleh para pelaku daur ulang dan petugas sampah umumnya yang biasa bekerja tanpa peralatan pelindung.

Jenis sampah Sampah B3 RT dapat dikelompokkan berdasarkan jenis aktifitas rumah tangga, yaitu bahan dan/atau bekas kemasan produk dari : aktifitas dapur, seperti pembersih lantai, pengkilat logam dan pembersih oven ; Aktifitas kamar mandi, seperti pembersih kamar mandi, pembersih toilet dan obat kadaluarsa ; aktifitas garasi dan pembengkelan, seperti baterai, pembersih badan mobil dan berbagai macam cat untuk mobil ; aktifitas ruangan di dalam rumah, seperti cairan untuk mengkilapkan mebel, cairan penghilang karat dan pengencer cat ; aktifitas pertamanan, seperti cairan pembunuh jamur, cairan pembunuh gulma dan racun tikus.

Dalam aktifitas rumah tangga di setiap perkotaan, masyarakat umumnya membuang sampah yang tersebut di atas secara tercampur dengan sampah rumahannya (sampah organik). Kehadiran sampah B3 RT ini di dalam timbulan sampah kota meski relatif masih kecil, namun perlu diupayakan penanganan yang komprehensif, mengingat sifat akumulatif sampah tersebut memiliki karakteristik yang sangat berbahaya seperti beracun, korosif, mudah terbakar, mudah meledak, dan menimbulkan karsinogenik (penyakit kanker) yang pada akhirnya menjadi ancaman bagi warga dan lingkungan di sekitar tempat pembuangan akhir sampah.

Penanganan Sampah B3
Pengelolaan sampah masyarakat kota Semarang sudah seharusnya dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dengan mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan yang merupakan prinsip dasar pengelolaan sampah saat ini. Demikian halnya dengan pengelolaan sampah B3 RT diperlukan pengembangan sistem terpadu dengan mengintegrasikan kelima sub sistem yang ada, yaitu: aspek institusi, pembiayaan, hukum, teknik operasional dan peran aktif masyarakat.
Peran perangkat hukum tentunya juga menjadi sangat penting mengingat sampah B3 merupakan sampah khusus yang memerlukan penanganan tersendiri disamping faktor penting lainnya adalah peran serta aktif masyarakat. Di dalam pengelolaan sampah B3 RT kelompok strategis yang diperlukan peran aktifnya adalah produsen barang dan atau bahan B3, masyarakat konsumen sebagai penimbul sampah, pengelola sampah kota dalam hal ini pemkot Semarang, dan para pelaku daur ulang.

Bagi Pemkot Semarang sudah tentu diperlukan institusi khusus yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah B3 RT (termasuk sampah kota), struktur organisasi yang ada di lingkungan dinas kebersihan perlu sedikit perombakan dengan memasukkan orang-orang yang memiliki kemampuan skill dan pengetahuan yang memadai tentang sampah B3. Disamping itu pemkot Semarang juga perlu mengadakan kerjasama dengan pihak produsen untuk melakukan pemilahan dan teknologi daur ulang sampah B3.

Instansi pengelola sampah kota, harus didorong agar memiliki kemampuan untuk mengantisipasi bahaya yang disebabkan oleh terakumulasinya bahan berbahaya beracun di tempat-tempat pembuangan akhir sampah.. Sebagai instansi pengelola kebersihan kota, wajib mengupayakan tersedianya sarana-sarana khusus pengelolaan sampah B3-RT, misalnya dengan menyediakan wadah-wadah pengumpulan , sarana pengangkutan dan mengantisipasi kerjasama dengan pihak swasta dalam upaya pengolahannya.

Bagi masyarakat kota Semarang wajib memisahkan sampah B3-RT di rumah-rumah, ke dalam suatu wadah terpisah (tidak bercampur dengan sampah organik) dan selanjutnya diserahkan kepada petugas swakelola masing-masing RW, dalam hal ini bisa melibatkan ibu-ibu PKK yang umumnya lebih perhatian dan empati untuk mengurusi sampah yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangganya. Petugas swakelolapun wajib mengumpulkan sampah B3-RT ke dalam wadah khusus di tempat pembuangan sementara (TPS ) terdekat atau di toko-toko tertentu yang ditunjuk sebagai pengumpul B3-RT untuk dikembalikan kepihak produsen atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sudah disepakati.

Masyarakat juga perlu mengurangi konsumsi produk-produk yang mengandung bahan berbahaya beracun, dan lebih memilih produk yang ramah lingkungan serta memahami pentingnya upaya pengelolaan lingkungan yang disebabkan oleh bahaya bahan-bahan berbahaya beracun. Hal ini dimaksudkan bahwa masyarakat selaku konsumen harus menyadari bila biaya pengelolaan lingkungan akan dibebankan terhadap harga jual suatu produk nantinya.

Banyak aspek pengelolaan yang melibatkan masyarakat, sehingga tetap diperlukan kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan kehadiran LSM mampu menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat atas upaya pencegahan pengelolaan dan pengendalian serta pelestarian lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah B3-RT. Disamping itu, LSM dapat berfungsi sebagai kontrol terhadap kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan sampah B3-RT.

Kewajiban produsen untuk senantiasa menyampaikan kandungan bahan berbahaya beracun di dalam setiap produknya perlu ditingkatkan lagi. Kewajiban produsen untuk melakukan upaya pengolahan produk pasca pakai, baik secara mandiri atau berkelompok harus diupayakan secara sinergis Tanggung jawab produsen atas penanggulangan dan pemulihan lingkungan yang diakibatkan oleh produk yang dihasilkannya menjadi trade mark / citra perusahaan untuk meningkatkan daya saing usahanya.

Keterlibatan para pelaku daur ulang di sektor informal, yaitu para pemulung yang berada di tempat-ternpat pembuangan sementara dan akhir, perlu mendapat perhatian besar dari semua pihak. Selama ini mereka telah melakukan pengumpulan sampah B3-RT dengan cara yang sangat membahayakan kesehatannya. Perlu dikembangkan mekanisme yang mampu mengangkat keberadaan dan memberdayakan mereka sekaligus bisa mengangkat harkat dan martabat mereka.

Peran serta aktif Perguruan Tinggi juga diperlukan sebagai lembaga strategi yang berkemampuan untuk menjalankan fungsi pendukung sistem. Dukungan yang diperlukan terutama dalam upaya penyebaran pengetahuan dan informasi juga dalam pengembangan kajian dan atau penelitian teknologi tepat guna dalam upaya pengelolaan sampah B3 RT, yang sampai saat ini masih belum banyak dilakukan. Semoga saja.....

Kampanye Green Product


Menyaksikan pameran elektronik Chinese New Year Sale 2008 yang digelar di Atrium Java Supermall Kota Semarang belum lama ini, memang sungguh menarik dan mengasyikkan, bukan hanya sekedar untuk tontonan saja.. Berbagai macam produk elektronik dan home appliances terbaru dan mutakhir tersaji diberbagai outlet yang sudah barang tentu sangat memikat hati konsumen yang melihat langsung pameran tersebut, termasuk penulis. Model terbaru, kecanggihan dan berbabagi macam varian ditawarkan untuk memikat sekaligus merogoh kocek konsumen yang haus akan perkembangan teknologi bidang eketronik dewasa ini.


Dari kegiatan itu, ada satu hal yang menarik hati penulis untuk dicermati, bahwa pada pameran kali ini produsen juga menawarkan sekaligus mengkampayekan produk yang ramah terhadap lingkungan. Seluruh produk yang dipamerkan merupakan produk yang notabene hemat energi dan ramah lingkungan. Kebijakan dan pertimbangan produsen untuk mengeluarkan produk seperti diatas memang perlu mendapat dukungan dari semua pihak, mengingat pemanasan global (Global Warning) kini telah manjadi isu dunia. Sehingga mau tidak mau semua produsen harus mengikuti aturan main yang sudah disepakati dunia untuk mengurangi penyebab timbulnya pemanasan global yang salah satunya adalah dari berbagai macam penggunaan alat-alat elektronik.


Meski demikian, ternyata masih banyak konsumen dan masyarakat kota Semarang yang belum tahu arti penting dari produk ramah lingkungan. Sebagaian besar konsumen membeli produk tersebut dengan dasar kecanggihan teknologi dan harga yang bersaing saja. Masyarakat belum sampai kepada memahami pentingnya membeli suatu produk yang ramah lingkungan.


Lain halnya jika kita melihat konsumen di negara maju misalnya Uni Eropa, justru lebih cenderung memilih produk ramah lingkungan. Sehingga produk yang digemari maupun banyak dibeli oleh masyarakat disana adalah produk yang sudah mencantumkan ekolabel pada kemasannya. Menurut Direktur Program Uni Eropa-Indonesia Trade Support Programme (TSP) Ernawati S Taufiq, kesadaran masyarakat Uni Eropa terhadap produk yang ramah lingkungan sudah sangat tinggi. Setidaknya, 60 persen penduduk lebih memilih produk yang ramah lingkungan untuk dikonsumsi (dipakai). Setiap produk yang dipasarkan dibubuhi label yang menjelaskan produk yang dijual adalah produk yang ramah terhadap lingkungan, atau disebut ekolabel. Jelas dengan ecolabel ini nilai jual produknya bisa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Bukan berarti harganya jualnya lebih mahal, tetapi minat masyarakat yang lebih tinggi untuk membeli produk tersebut.


Sudah seharusnya saat ini kita mulai mengkampanyekan penggunaan produk ramah lingkungan. Mengingat jumlah penduduk kota Semarang yang kini suadah mencapai 1,5 juta jiwa, jika 50 persen penduduk kota sudah menggunakan produk yang ramah lingkungan berarti masyarakat kota Semarang sudah membantu dalam upaya untuk mencegah terjadinya pemanasan global secara singnifikan.


Gerakan kembali ke alam untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan peduli terhadap lingkungan belakangan ini juga mulai banyak kita temui, walaupun dalam skala yang terbatas dan belum menjadi gerakan yang luas di kota Semarang.. Hal ini disebabkan belum banyaknya informasi yang mudah dimengerti dan mudah untuk diakses oleh masyarakat luas. Persoalan lingkungan menjadi persoalan yang terlalu rumit untuk dipikirkan dalam tataran kehidupan sehari-hari. Menurut penulis, perlu menarik pemahaman lingkungan yang serba rumit itu menjadi pemahaman yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk difahami oleh semua orang. Kedekatan informasi lingkungan dengan pengalaman sehari-hari menjadi penting karena akan mampu menjadi cara pandang yang bisa dipakai setiap hari menjadi cara bertindak yang lebih peduli kepada lingkungan termasuk pemilihan pada penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan.


Meski berbagai informasi lingkungan telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk Kementerian Lingkungan Hidup mengenai pentingnya penggunaan produk yang ramah lingkungan, tetap perlu gerakan Kampanye Produk Ramah Lingkungan di masyarakat. Kampanye dilakukan agar kesadaran baru makin muncul di masyarakat mengenai produk-produk yang lebih ramah lingkungan. Hal positif yang dapat kita ambil adalah lingkungan akan menjadi sangat bermakna di masyarakat ketika dia bersentuhan dengan kesehatan dan yang terpenting dengan pengalaman sehari-hari mereka.


Informasi mengenai produk-produk ramah lingkungan saat ini menjadi moment yang sangat tepat bagi masyarakat kota Semarang, setelah berbagai bencana seperti perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola tanan, peningkatan suhu ( temperatur udara ) kota Semarang, ternadinya air pasang (rob yang makin menggila) dan banjir serta curah hujan yang sangat tinggi secara mendadak adalah merupakan gejala alam yang disebabkan oleh dampak dari pemanasan global.


Mengingat saat ini masih belum banyak informasi yang mudah diakses oleh masyarakat, maka gerakan kampanye menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan sekaligus diandalkan untuk mempopulerkan penggunaan produk-produk yang ramah terhadap lingkungan. Gerakan kampanye ini harus dilakukan oleh semua pihak baik pemerintah, swasta mapun kalangan terdidik seperti perguruan tinggi. Pemerintah perlu segara membuat regulasi yang mengatur penggunaan produk ramah lingkungan. Disamping itu pemerintah perlu memberikan reward/penghargaan kepada produsen yang menjual produk ramah lingkungan.


Pembuatan media kampanye untuk promosi seperti spanduk-spanduk dan brosur atau leaflet tentang pentingnya melilih dan menggunakan produk ramah lingkungan perlu dipasang dan disebar diberbagai tempat yang strategis secara kontinue. Jangan sekedar asal pasang dan sebar saat perayaan hari lingkungan hidup atau hari bumi saja, yang sudah sering kita lihat bersama. Mengingat dana pemerintah juga terbatas, maka peran serta swasta dalam hal ini kalangan produsen dan LSM serta Ormas yang ada, harus turut serta mensuport gerakan kampanye produk ramah lingkungan, tentunya dengan dukungan simulus dana untuk gerakan kampanye tersebut.


Bagi perguruan tinggi perlu memberikan sosialisasi yang rutin dan gencar baik lewat kegiatan seminar, lokakarya dan diskusi-diskusi yang digelar dikampus maupun diluar kampus, bukan sekedar dalam tataran wacana-wacana saja, tetapi lebih kepada kegiatan kongkrit dimasyarakat yang mampu memebrikan pemahaman baru bahwa produk ramah lingkungan menjadi produk yang utama untuk di konsumsi masyarakat dewasa ini. Semoga saja....

Hotel berwawasan Lingkungan

Pertumbuhan industri perhotelan di Kota Semarang semakin pesat seiring dengan perkembangan dunia usaha, ditandai dengan terus bertambahnya jumlah hotel yang ada, mulai dari yang bertaraf regional sampai bertaraf internasional. Meski dihadapkan pada persoalan persaingan yang sangat ketat, tidak menghalangi motivasi kuat para investor dan pengembang untuk melirik kota ini.

Sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah, ternyata Semarang memiliki daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki kota lain sehingga kejelian para investor untuk menanamkan modalnya tetap saja ada. Bahkan pengembang berskala nasionalpun turut andil, terakhir, Golden Flower Group Real Estate, melalui anak perusahaannya PT Cakrawali Sakti Kencana yang membangun mixed used development Paragon City yang terdiri dari mal, hotel bintang 4 plus dan apartermen. Menyusul Grup Duta Pertiwi yang membangun kompleks bisnis terpadu DP Mall yang seharusnya juga memiliki tiga fungsi properti yaitu hotel, mal dan ruko.

Sampai akhir tahun 2007 lalu pertumbuhan hotel tercatat sejumlah 7 hotel baru, baik yang baru beroperasi maupun yang akan dibangun. Sebut saja Afta, Candra Buana, Dusit, Gumaya Palace Hotel, Holiday Inn, Ibis dan Java Supermall Hotel. Sehingga jumlah hotel menjadi 36 buah yang telah beroperasi.

Kondisi tersebut di atas tentu saja sangat membanggakan Pemerintah Kota Semarang, namum perlu dipahami bahwa pembangunan hotel yang begitu pesat saat ini akan membawa pengaruh dan berdampak signifikan terhadap lingkungan sekitar. Sudahkan hotel-hotel tersebut peduli terhadap masalah lingkungan sekitar saat dibangun maupun beroperasi ???, pertanyaan inilah yang menggelitik penulis untuk urun rembuk, secara otomatis penambahan hotel baru akan berdampak pada masalah yang sangat esensi yaitu kebutuhan akan air. Mengingat umumnya hotel menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air dengan memompa air melalui sumur-sumur dalam atau dari sumber-sumber yang ada disekitar hotel. Tentu saja hal ini akan berdampak pada sumur dan sumber-sumber air yang ada disekitar hotel yang dimungkinkan akan mengalami kesulitan air atau kekeringan.

Apalalagi saat ini masih dijumpai hotel-hotel yang belum memiliki fasilitas pengolah limbah cair yang memadai, bahkah ada juga yang belum memiliki fasilitas tersebut. Ujung-ujungnya limbah cair hotel dibuang ke saluran air biasa atau ke sungai. Sayangnya terhadap masalah yang satu ini belum ada penanganan dan tindakan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan, padahal jelas-jelas UU No 7 Tahun 2004 pasal 24 mengemukakan bahwa ”setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air dan atau mengakibatkan pencemaran air”.

Limbah cair hotel memang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan limbah cair rumah tangga, karena potensi limbah tersebut tidak hanya berasal dari kegiatan dapur saja, tetapi juga dari kegiatan house keeping, kantor, kamar hotel dan laundry. Limbah terakhir inilah yang sangat berbahaya jika dibuang kelingkungan begitu saja karena hotel terbiasa menggunakan deterjen yang mengandung bahan kimia yang sangat sulit terurai.

Berdasarkan Kepmen Negara Lingkungan Hidup no 17 tahun 2001, hotel yang memiliki lebih dari 200 kamar dan luas bangunan 5 hektar wajib memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan yang kurang dari itu tetap wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Oleh sebab itu pemerintah harus memberikan stimulus kepada para pengusaha (invertor) hotel agar lebih sadar terhadap lingkungan dengan membangun instalasi pengolah limbah yang memadai, agar hotel yang beroperasi tidak mencemari lingkungan sekitar dan bisa menimbulkan kerawanan sosial. Konsep ”Reward and Punishment” perlu diterapkan untuk memotivasi pengusaha hotel agar dapat mengatur dan mengelola hotelnya sehingga menjadi satu kesatuan yang mengarah pada konservasi lingkungan, sehingga hotel menjadi berwawasan lingkungan. Semoga saja...