Masyarakat umumnya lebih mengenal “Dieng” sebagai daerah tujuan wisata alam ketimbang yang lainya, hal ini disebabkan oleh keindahan alam dieng yang sangat mempesona. Sesuai dengan namanya “Dieng” berasal dari bahasa sansekerta yaitu “Di” yang berarti tempat yang tinggi atau gunung yang berarti kayangan. Dengan menggabungkan kedua kata tersebut maka bisa diartikan merupakan daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayan. Maka tidak heran jika keindahan dataran tinggi Dieng tersebut sudah lama terkenal sampai ke mancanegara.
Sebagai daerah tujuan wisata, sebenarnya dieng masih memiliki potensi lain yang belum banyak dilirik bayak orang, bahkan banyak yang belum mengetahui akan keberadaanya. Sebut saja ”Museum Purbakala Dieng” yang terletak di desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Desa Dieng Kulon yang berada di ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut ini, meski banyak menyimpan saksi bisu peninggalan sejarah dan purbakala yang tersimpan dalam museum, ternyata belum banyak menarik perhatian masyarakat baik para wisatawan lokal maupun mancanegara untuk tujuan wisata maupun riset-riset sejarah dan kepurbakalaan. Boro-boro tertarik mengunjungi museum ini, mendengar jika Dieng punya museum yang menyimpan aset budaya yang tak ternilai harganya ini saja, mungkin belum pernah sampai ke telinga kita.
Museum purbakala ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1978, namum karena keterbatasan akses informasi dan publikasi seolah-olah museum ini tenggelam oleh kebesaran da keindahan panorama alam Dieng yang sungguh fantastis bagi banyak orang yang melihatnya. Jika kita tengok museum ini, terlihat kurang terawat dan kurang tertata rapi, ternyata memiliki dan menyimpan bukti-bukti sejarah perjalanan hidup nenek moyang kita dulu. Salah satu bukti nyata adalah peninggalan kuno kisah kehidupan masa lalu dengan banyaknya temuan arca dan puing-puing peningggalan kerajaan Kalingga dan Mataran Hindu, yang lebih banyak ditemukan oleh warga Desa Dieng Kulon daripada oleh kegiatan expidisi Arkeolog para ahli di bidang sejarah dan kepurbakalaan.
Lebih dari 380 koleksi dimiliki museum dan tertata di ruang pamer yang kurang representatif, diataranya arca Ganesha, Syiwa, Wisnu, Patung Nandi, berbagai bentuk Lingga dan Yoni serta hiasan Kalamakara. Namum kondisinya saat ini rata-rata masih sangat memprihatinkan, mungkin disebabkan karena penemuan oleh warga setempat yang dilakukan dengan cara tradisional dengan mencangkul dan menggali, sehingga banyak temuan berupa patung yang kehilangan kepala atau bagian-bagin tertentu.
Menurut penulis, banyak benda-benda purbakala yang tersimpan di museum tersebut terlihat kurang terawat dan kurang layak untuk dipamerkan. Mengingat benda-benda purbakala tersebut sudah memiliki umur yang cukup tua sudah seharusnya mendapat perwatan dan repair yang memadai baik dari aspek teknik maupun estetika. Pengaruh cuaca, seperti sinar matahari, hujan, kelembaban udara dan perbedaan temperatur dulu dengan sekarang bisa menjadi faktor utama cepat lapuknya benda-benda yang tersimpan di museum ini. Sebenarnya untuk memperpanjang umur dan merawat benda-benda historis itu bisa saja dengan penggunaan bahan-bahan kimia tertentu yang digunakan untuk mengawetkan dan membersihkan baik dari debu dan kotoran yang menempel.
Penataan ruangan pameran juga masih terlihat kurang baik sesuai dengan kaidah tata ruang pamer yang representatif untuk sebuah ruang pamer museum, terlihat masih tampak seperti strorage (gudang penyimpanan) saja. Padahal jelas dengan kondisi demikian, mana ada orang yang akan mau datang dan melihat benda-benda museum jika kondisi museum masih terlihat kotor dan terkesan agak kumuh. Paling-paling mereka yang mau datang adalah orang-orang yang memang butuh informasi sejarah dan kepurbakalaan seperti ahli sejarah dan para arkeolog untuk tujuan riset. Jelas jika memang demikian maka tujuan museum tidak dapat tercapai. Museum yang baik adalah museum yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, baik untuk tujuan wisata, pendidikan, riset-riset dan pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh publik domestik maupun mancanegara.
Jika diruntut masalah diatas maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kondisi museum seperti itu disebabkan oleh beberapa diantaranya : Masih kurang perhatiannya pemerintah daerah terhadap perkembangan museum, dana operasionalisasi dan perawatan yang masih minim, kurangnya tenaga ahli dibidang arkeolog yang bertugas untuk merawat dan memilihara benda-benda museum, dan kurangnya publikasi akan keberadaan museum.
Meningkatkan Potensi Museum
Menurut pandangan penulis untuk meningkatkan potensi museum purbakala Dieng agar bisa menjadi daerah tujuan wisata unggulan disamping tempat wisata yang sudah ada saat ini, tidak lepas dari strategi dan cara pemasaran yang baik serta komitment pemerintah daerah setempat untuk mengoptimalkan museum yang sudah ada ini. Pemerintah daerah harus lebih memberikan perhatian khusus baik dalam hal pengelolaan atau management museum dan prasarana sarananya. Tidak jelasnya pengelolaan museum bisa berakibat tidak adanya tanggung jawab operasional yang maksimal, ini bisa menimbulkan kerawanan, mengingat museum menyimpan benda-benda yang tak ternilai harganya, sudah barang tentu akan memancing oknum tertentu atau para kolektor jahat untuk berburu dan berusaha memindahkan benda-benda purbakala tersebut keluar museum.
Mengingat museum ini masih berada dibawah kendali Dinas Pariwisata, untuk setingkat Kabupaten sebaiknya perlu dibentuk UPTD (unit pelaksana teknis daerah) yang bertugas khusus mengelola museum. Sumber daya manusia dalam hal ini pengelola harus juga diperhatikan. Minimal mereka yang akan menjadi pengelola adalah mereka yang memiliki basic/background bidang sejarah dan kepurbakalaan yang secara terori maupun tekniks operasional mengusai betul seluk-beluk museum dan benda-benda di dalamnya. Jangan sampai museum dipegang oleh orang yang bukan ahlinya, boro-boro untuk mendisain ruang pamer yang representatif, untuk mencari terobosan promosi museum saja, sudah pasti kesulitan dan kelabakan.
Mengingat museum lokasinya sedemikian rupa, maka pemerintah harus menyediakan akses prasarana dan sarana yang memadai untuk menuju dan pergi dari museum. Jalan menuju lokasi museum juga harus diperbaiki, minimal kelasnya ditinggikan. Begitu pula dengan sarana transportasinya, jangan sampai wisatawan yang berkunjung mengeluh dan merasa tidak nyaman berkunjung ke museum hanya gara-gara jalan yang dilewati tidak baik atau rusak. Penulis nyakin keluhan tersebut bisa menjadi bumerang bagi museum.
Disamping itu pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana untuk Operasional dan perawatan (OP) yang memadai terutama yang lewat APBD II (Kabupaten). Jika pemerinah daerah bisa meningkatkan visi dan misi museum sampai ke tingkat internasional, sudah tentu anggaran OP bisa ditambah lewat pengajuan dana APBN dan APBD I (provinsi). Alangkah lebih baik jika anggaran OP disusun berdasarkan atau melalui rencana pembangunan investasi jangka menengah 5 tahun (RPIJM) sehingga selama kurang lebih 5 tahun ke depan museum masih bisa bernapas lega. Untuk ini perlu kreativitas dai pengelola dan pemerintah daerah dalam menyusun anggaran RPIJM.
Eksistensi museum tidak bisa lepas juga dari promosi dan publikasi yang cukup gencar dari pemerintah daerah. Sudah seharusnya pemerintah daerah memasukkan museum purbakala Dieng ini dalam daftar kunjungan tempat-tempat wisata yang sudah ada. Sehingga museum yang letaknya berhadapan dengan Candi Gatotkaca serta berseberangan dengan kompleks Candi Arjuna ini bisa terkenal sekaligus terpublikasi. Dengan sendirinya para wisatawan baik domesti maupun mancanegara akan berbondong-bondong mengunjungi museum dan berdecak kagum, melihat hasil karya nenek moyangnya yang luar biasa ini. Jika sudah begini pemerintah daerah-lah yang akan diuntungkan dengan masuknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bisa digunakan untuk membangun infrastuktur daerah lainnya. Semoga saja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar