Rumah menjadi sebuah kebutuhan esensial/primer dan sangat penting bagi semua warga yang tinggal di Kota Semarang. Bahkan bagi rakyat kecil memiliki rumah idaman merupakan impian yang amat didambakannya. Namun dengan semakin terbatasnya ruang dan tingginya harga tanah/rumah di kota Semarang, menyebabkan keinginan sebagian besar warga yang notabene adalah rakyat kecil kandas di tengah jalan. Mereka harus berjuang sangat keras untuk memperoleh dan bisa menempati rumah yang layak huni agar dapat membangun keluarga yang lebih berkualitas.
Sebagai ibu kota provinsi dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 1,5 juta jiwa, sebagian besar warga belum dapat menikmati dan masih kesulitan untuk memiliki rumah tinggal yang layak. Dari data Dinas Permukiman dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah lebih dari 1 juta kepala keluarga belum memiliki rumah/tempat tinggal, yang sebagian besar tinggal di kota Semarang.
Sungguh ironis sekali, dibalik gencarnya pembangunan pusat perbelanjaan modern (mal-mal), ruko-ruko, hotel-hotel, rumah-rumah dan aparterment mewah, yang seolah-olah mempertontonkan keangkuhan dan kemegahan kota semarang sebagai kota metropolitan, rakyat kecil kota ini masih menanti uluran tangan dari para pengembang (investor) perumahan untuk sekedar mendapatkan tempat berteduh dan berlindung yang layak sesuai dengan harapan mereka, yang sampai saat ini masih saja menjadi sebuah mimpi indah di siang balong.
Keinginan para pengembang untuk menyediakan rumah rakyat juga belum dapat terealisir. Mengingat masih terjadi tarik ulur antara pengembang dengan pemerintah. Mengacu pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.03/M/2007 tentang kepemilikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jelas dengan gaji dibawah Rp 1 juta masih banyak rakyat kecil yang tetap saja kesulitan untuk membeli rumah bersubsidi tersebut.
Sehingga mau tidak mau mereka terpaksa harus rela tinggal di tempat-tempat “ kumuh “ yang sebenarnya tidak layak huni baik secara teknis maupun aspek kesehatan. Di Jawa Tengah saja terdapat lebih dari 500 lokasi pemukiman kumuh warga dengan luas area lebih dari 390 hektar yang di huni hampir 19.000 keluarga, dan sebagian besar ada di Semarang. Kondisi di atas tentu saja akan berpotensi menimbulkan kerawanan social, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan termasuk meningkatnya konflik pemanfaatan ruang dan tanah yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Jika rakyat kecil memang sangat sulit untuk mendapatkan rumah karena semakin terbatasnya lahan dan ruang di kota ini serta harga tanah yang semakin tidak terjangkau sehingga menyebabkan para pengembang tidak mampu menyediakan dan membangun rumah murah, apa lantas rakyat harus diterlantarkan begitu saja. Tidakkah ada solusi yang bijaksana untuk memberikan jaminan hidup dengan memberikan tempat hunian secara lebih memadai dan layak bagi rakyat kecil kota ini ?
Rusun Alternatif Hunian
Kehadiran “ Rusun “ di Semarang sepertinya belum banyak dilirik dan mendapat simpati para investor atau pengembang untuk membangunnya. Padahal sebenarnya rumah susun atau rusun dapat dijadikan sebagai alternatif tempat hunian bagi rakyat kecil, di saat harga tanah semakin melambung dan semakin terbatasnya lahan dan ruang untuk membangun rumah di tengah kota. Rusun di tengah kota tentu dapat dijadikan sebuah alternatif hunian dan prioritas program dalam mengatasi persoalan permukiman dan perumahan penduduk, jika memang benar pemerintah kota ingin mengentaskan warganya yang sampai saat ini masih banyak yang belum memiliki rumah sendiri.
Beberapa rusun yang yang telah ada dan di huni warga kini telah menjadi sebuah komunitas tersendiri yang memiliki ciri khas yang unik dalam tata kemasyarakatan. Namum dengan masih terbatasnya rusun di kota ini, ternyata belum mampu menjawab kesulitan yang menimpa sebagian besar warga yang tergolong rakyat kecil. Beberapa Twin Blok rumah susun tipe 21 telah selesai di bangun pemerintah, namum rusun tersebut masih sangat terbatas dan belum mampu mengatasi seluruh masalah permukiman bagi rakyat kecil. Oleh sebab itu pemerintah kota perlu meningkatkan program pembangunan rumah susun di kota ini agar dapat menolong rakyat kecil yang hidup pas-pasan, syukur-syukur pemerintah bisa menggandeng pihak swasta dalam hal ini investor untuk berperan aktif menyelesaikan masalah permukiman penduduk kota.
Pembangunan rusun memang idealnya tidak jauh dari kota apalagi di pinggir kota yang sulit terjangkau prasarana dan sarana transportasi umum. Hal ini agar rakyat tetap dapat tinggal dekat dengan tempat mereka bekerja yang umumnya berada di pusat kota. Jika mereka dapat bekerja hanya dengan berjalan kaki saja, tentu akan sangat menekan pengeluaran yang digunakan untuk biaya transportasi. Uang mereka dapat digunakan untuk di tabung atau keperluan lain yang lebih utama. Namum bila yang terjadi sebaliknya (berada di pinggir kota) rusun menjadi tidak efektif dan efesien sebagai tempat hunian rakyat kecil.
Pembangunan rusun ini harus ditujukan untuk memberikan tempat hunian yang cukup layak kepada rakyat kecil yang berpenghasilan rendah. Mereka diberikan kesempatan untuk membeli rusun dengan membayar uang muka yang rendah dan cicilan yang relatif ringan dengan jangka waktu yang panjang agar tidak mencekik leher rakyat. Jangan sampai rusun jatuh ke tangan warga yang mempunyai tingkat ekonomi lebih baik dan berpenghasilan tinggi apalagi orang – orang berdasi (baca : orang kaya).
Yang pada umumnya membeli rusun di pusat kota hanya untuk simpanan/sekedar “saving” atau ditempati agar tidak jauh dari lokasi tempat bekerja saja dan menghindari kemacetan di jalanan. Jangan sampai halaman rusun nantinya berubah menjadi areal tempat parkir mobil apalagi kendaraan mewah, seperti yang banyak terjadi di kota Jakarta saat ini.
Oleh sebab itu pemerintah perlu melihat kembali rumusan dari tujuan dan makna pembangunan rusun, agar rakyat kecilah yang nantinya benar-benar mendapatkan tempat hunian tersebut. Ke depan pembangunan rusun sebagai alternatif hunian yang layak untuk rakyat berpenghasilan rendah perlu ditingkatkan kembali pembangunannya baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Menjadi lebih bijaksana jika pemerintah kota menggandeng dan mengajak investor swasta membangun rusun lebih banyak lagi di kota ini untuk mewujudkan pemukiman yang ideal dan menghilangkan kawasan kumuh di Semarang.
Meski keuntungan financial yang dapat di ambil tidaklah sebanyak jika membangun aparterment atau rumah mewah, penulis yakin masih banyak investor dan pengembang di kota ini yang “ berhati mulia” dan mau mengerti jeritan dan kondisi rakyat kecil, sehingga mau membangunkan rusun dan menjadi penyelamat, di saat sulitnya mereka melawan kerasnya kehidupan kota Semarang. Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar